Thursday, August 8, 2013

Saudariku, Aku Lebih Baik Mati daripada Memaafkanmu

Aku ingin berbagi sedikit cerita dari seorang tetangga yang pulang dari tempat rantau untuk bertemu dengan keluarganya di Hari Raya Idul Fitri tahun ini. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu dengan ibunya (karena ayahnya sudah meninggal) dia pulang dalam keadaan yang baik. Dirinya baik, senyumnya masih sama dan dia masih bisa tertawa untuk candaan garing yang dilemparkan oleh saudara-saudarinya. Tapi, sedikit waktu saat keluarganya tertawa, matanya terlihat kosong, menerawang entah kemana. Ibunya yang menyadari keanehan putrinya kemudian mengajaknya ke dapur untuk sedikit berbincang-bincang. Ibunya mengajaknya berbicara ringan sampai akhirnya beliau bertanya "ada yang terjadi di sana?ada yang terjadi di ***am (tempatnya bekerja) yang tidak kau ceritakan pada ibu?" Dia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa dia tidak apa-apa. Tapi Ibunya merasa ada yang berubah dari anaknya. Hari itu juga, Beliau menghubungiku untuk datang bersilaturahmi kerumahnya karena beliau berpikir aku dekat denganny dan menceritakan keadaannya, tapi apa daya keadaanku sekarang aku tak bisa mengunjunginya. "Kalau prima telpon saja bagaimana bu?" Beliau terdiam beberapa saat dan mengatakan 'iya'.

Sejujurnya aku sedikit merasa terbebani untuk menghubunginya, karena aku mempunyai pengalaman buruk dengan gadis itu. Aku merasakan sakitnya dimanfaatkan dan dikhianati seorang teman untuk kedua kali darinya, tapi itu sudah cukup untuk membuka luka lama dihancurkan oleh sahabat sendiri. Aku belum bisa melupakan yang ia lakukan padaku sampai hari ini dan tiba-tiba ibunya memintaku untuk berbicara dengannya. Dengan sedikit paksaan, aku menganggap ini "amanah" untuk sedikit melegakan pikiran dan hatiku yang masih tidak terima atas apa yang hendak aku lakukan. 1 syawal 1434 H, anggap saja telpon ini terakhir kali aku menghubunginya dengan perasaan sakit, semoga besok dan seterusnya aku bisa bersikap biasa dan belajar memaafkannya setelah 5 tahun kejadian itu berlalu.

Dengan sedikit keraguan, aku tekan tombol nomor yang dikirimkan ibunya. Satu, dua..bunyi nada sambung yang tidak dijawab. Aku masih menunggu. "Assalamu'alaykum, maaf ini siapa?" tanyanya kepadaku. "Ini aku" jawabku. Tangisnya pecah saat mendengar suaraku dan selama 3 menit aku hanya mendengarnya menangis. "Kalo mau nangis, aku tutup dulu telponnya!" ucapku kepadanya dan aku tutup telpon yang menghubungkan kami. Tepat 10 menit kemudian, ponselku berbunyi dan nomornya terlihat dilayar. "Assalamu'alaykum" ucapku. Setelah menjawab salamku, dia meminta maaf, dan hanya maaf yang aku dengar selama beberapa detik kami berbicara. Hanya maaf dan maaf yang ia ucapkan. "Maaf, aku tahu sekarang apa yang kamu rasakan prim, aku tahu sakitnya kepercayaanmu dirusak" ucapnya. Aku hanya mendengarkan ia bercerita.

Ia bersahabat dengan seorang gadis lain ditempat kerjanya. Apapun yang temannya alami, ia selalu ada untuk temannya (sedikit berlebihan). Ia mendukung apapun yang temannya lakukan karena ia sangat mempercayai temannya itu. Sampai diawal tahun ini, temannya tiba-tiba sedikit demi sedikit menjauh darinya, membuang kepercayaan yang ia berikan pada temannya. Tanpa sadar, gosip-gosip yang tidak mengenakkan tentang "mantan" temanku tersebar ditempat kerjanya. Semuanya meninggalkannya satu per satu sampai kekasihnya juga menjauh dan memilih berpisah darinya. Akhirnya dia memutuskan mundur dan pulang sebentar kerumah, tapi alangkah terkejutnya ia mendengar bahwa kekasihnya akan segera melamar sahabatnya. "Aku gak tahu prim, kenapa untuk seorang pria saja, ia menghancurkan hubungan persahabatan kami. Kenapa tidak bilang saja kalau dia menyukai pria itu, aku lebih senang dibanding dia menusukku dari belakang seperti ini" ucapnya. "Aku benar-benar lebih menyayangi sahabatku dibandingkan pria itu, aku tak pernah berpikir dia seperti itu prim, dia yang kelihatan suci, tulus dan berpendidikan, ternyata seperti itu" Aku hanya bisa diam mendengarkan. "Aku lebih baik mati daripada memaafkan mereka prim" Kalimat terakhirnya benar-benar membuatku tak percaya apa yang aku dengar. "Sejauh itukah? Maksudku sampai sejauh itu sakit hatimu?kenapa?apa karena kau kehilangan kekasih atau apa?tanyaku. "Aku lebih baik kehilangan cinta seorang pria daripada kehilangan seorang sahabat prim, biarlah aku terima jika ini karmaku"

Aku hanya terdiam mendengar ceritanya, aku tak bisa memberikan saran apa-apa karena aku juga belum mengerti bagaimana meredakan perasaan kecewa, marah, sedih dan sakit hati. "Hei, aku belum bisa memaafkanmu juga, tapi aku gak akan memilih mati, biarlah sakit hati dikhianati ini aku rasakan saja" Itu kalimat terakhir sebelum aku menutup pembicaraan kami. Bagaimanapun juga, aku kurang berpengalaman untuk hal memaafkan, aku juga bukan orang yang mudah memberi maaf. Aku tak bisa memberi saran terbaik untukmu, jadi aku juga seharusnya minta maaf jika aku tak bisa memaafkanmu sampai saat hatiku sudah tak merasakan sakitnya dikhianati. __Backstabber_Betrayal__Never Hurt People If U Don't Know How Its Feel....
_This story just bring back too much bad memories_Once again afraid of friendship_