Aku pernah mendengar lebih baik sakit gigi daripada sakit hati, tapi ada juga yang bilang lebih baik sakit hati daripada sakit gigi. Yah, aku tak tahu mana yang benar untuk waktu itu. Tapi sekarang rasanya berbeda. Aku pernah mengalami sakit gigi dan rasanya sakit. Kemudian sakit hati? humm...seperti apa? Aku tak begitu pasti tahu apa itu, tapi kalo sakit hati yang dimaksud penyakit fisik, aku tak pernah mengalaminya(Alhamdulillah),trus kalo penyakit qolbu, in shaa Allah aku diajarkan untuk menjauhi hal2 yang dapat membuat penyakit qolbu. Lalu, sakit hati apa yang dimaksud orang2? Mungkin aku masih terlalu polos dulu ketika pertanyaan seperti itu diutarakan.
Tapi sekarang, aku tahu rasanya. Pantas saja sampai ada orang yang mengutuk dan sangat membenci orang lain saat hatinya disakiti. Yah, mungkin terlalu mendramatisir, tapi lumayan kerasa saat hatimu (bukan fisik) ditusuk dua kali pada saat yang bersamaan oleh orang yang kau percayai. Mungkin pengaruh cerpen jadi agak sentimentil seperti ini, tapi aku jadi kasihan saat membaca cerita itu. Na'as, tragis, apapun itu sangat menyedihkan dan sukses membuat mewek. Seperti berkaca dengan diri sendiri, yah..itu yang aku rasakan. Apa hanya aku yang terlalu sensitif? Atau memang aku sedang butuh pengobatan untuk sakit "hati" ku sekarang? Yah, kalau mau menuruti cerpen itu, aku mau saja. Tapi aku paling tidak suka kehilangan teman hanya untuk sebuah permasalahan yang kadang tidak masuk akal. Yah, kata "seandainya" selalu berhasil membuatku menangis.
Boleh tidak aku tak merasakan? Boleh tidak aku menolak merasakan? Boleh tidak aku menjauh untuk merasakan? Karena aku takut akan kebencian..Aku takut tak bisa memaafkan..Aku takut aku kehilangan beberapa nama dalam doaku. Aku tak berhak membenci, aku tak berhak untuk tidak memaafkan..tapi satu yang aku tahu pasti, aku akan selalu mengingatnya, saat jantungku kembali berdetak lemah karena kecewa?marah?sedih? Aku tak tahu pasti apa itu, tapi aku takut sekali "seandainya" menjadi nyata. Aku tak mau membuat cerita baru dengan melupakan cerita lama, tapi cerita lama ini tak mau melepaskanku. Seandainya aku tak menerima uluran tangan itu, apakah akan jadi begini? Apa aku berhak menolak untuk berkata iya?
No comments:
Post a Comment